Era Musik Digital: Kebangkitan Yang Meredup



Tidak sulit membuktikan, musik Indonesia sejak lama menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Simak saja di acara-acara televisi dan dengarkanlah radio. Kebanyakan musik yang ditampilkan adalah musik-musik hasil karya anak bangsa. Di Indonesia, musik lokal lebih digemari dibandingkan musik mancanegara. Bahkan musik hasil karya anak bangsa menemukan penggemarnya hingga ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Jelas kita patut berbangga akan hal ini.

Perkembangan warna dan kualitas musik di Tanah Air tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri musik. Industri musik terus menggelinding bertransformasi mengikuti kemajuan teknologi. Mulai dari piringan hitam, kaset, compact disk (CD), kini dunia musik tengah berada dalam era digital. Era digital tidak hanya mengubah format produk, tetapi juga mengubah seluruh tatanan infrastruktur hingga pada model bisnis industri musik. Dengan dimulainya era musik digital berarti menandai berakhirnya masa keemasan penjualan album fisik di Indonesia



Awal dekade ini merupakan salah satu momen paling buruk dalam sejarah industri rekaman di Tanah Air. Tercatat hanya sekitar 10 juta keping album legal yang terjual di Indonesia pada tahun 2008, menurut data yang dikeluarkan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI). Padahal tahun sebelumnya masih tercatat penjualan 19,4 juta keping dan 2006 sebesar 23,7 juta keping. Penjualan tahun lalu yang belum dirilis ASIRI hingga kini diperkirakan juga mengalami penurunan sekitar 10â15%. Sebaliknya, angka pembajakan musik fisik di Indonesia justru meningkat gila-gilaan. Jika di tahun 1996 ASIRI mencatat 20 juta keping album bajakan beredar, maka dua belas tahun kemudian atau di tahun 2008 jumlahnya membengkak fantastis hingga 550 juta keping! Rasio peredaran album musik bajakan dan legal di tahun 2007 bahkan telah mencapai 96% : 4%, angka ini disinyalir akan terus bertambah di tahun ini (2010). Ratusan toko kaset dan CD di Indonesia telah tutup selama dua tahun terakhir ini, salah satunya bahkan sebuah toko yang telah puluhan tahun beroperasi dan menjadi ikon Bandung sebagai kota barometer musik: Aquarius yang terletak di Jalan Dago. Sejak Desember 2009, Aquarius Dago resmi going out of business. Label-label rekaman yang tergabung dalam ASIRI pun mengalami nasib yang sama: Tutup! Menurut Marulam J. Hutahuruk, General Manager ASIRI, dari 240 anggota ASIRI kini hanya tersisa 76 perusahaan dan dari jumlah itu yang masih aktif berbisnis hanya tinggal 12-15 perusahaan rekaman besar. Krisis ternyata tak hanya menghantam label-label rekaman besar. Indie label terkemuka Aksara Records yang telah menjadi salah satu tonggak pergerakan musik independen di tanah air dan menjadi rumah bagi band-band seperti Efek Rumah Kaca, Sore, Goodnight Electric, White Shoes & The Couples Company terpaksa ditutup sejak pertengahan Desember silam.



Era telah berganti. Industri musik fisik perlahan-lahan tenggelam dan terbitnya era musik digital tidak bisa dihalang-halangi. Peralihan era ini ditandai dengan penjualan konten digital melalui mobile operator. Trend penjualan konten music digital diperkirakan akan terus berlanjut melalui transaksi online seperti kiosk online, retailer online, hingga e-commerce.

Terbitnya era digital turut membawa harapan dan angin segar bagi industri musik Tanah Air. Sebuah era baru telah hadir dalam wilayah seni jagad hiburan tanah air. Sebuah era baru saat digital menjadi tulang punggung bagi kelangsungan sebuah bisnis yang makin melebarkan sayapnya. Era digital telah menjadi penyelamat kala CD dan kaset mengalami penurunan yang begitu signifikan akibat pembajakan yang semakin liar. Sisi positif dari berkembangnya era digital adalah tumbuh suburnya label-label baru yang memiliki kesempatan yang sama dalam menancapkan prestasi dengan major label yang sudah mapan. Persaingan semakin jelas dan terbuka. Nama besar era digital saat ini tidak ada artinya. Lagu adalah kunci. Dalam hal ini label kecil dan besar kemudian memiliki aset dan kesempatan yang sama atas artis-artis mereka.



Pada era digital, seorang penikmat musik tidak perlu lagi membeli sebuah kaset atau CD berisi seluruh album musik, tetapi cukup lagu yang diinginkannya saja. Ibarat buku, seseorang hanya membeli bab perbab, bukan buku secara keseluruhan. Untuk berjualan musik, seorang pengusaha tidak perlu lagi rak-rak besar untuk menyimpan kaset dan CD, tetapi cukup berjualan via websites atau blog di internet. Persebaran dan perpindahan sebuah konten musik tidak dapat dibendung dan dihalang-halangi lagi oleh batas-batas geografis ketika telah dicemplungkan ke internet. Konten musik digital yang diupload di Jakarta seketika itu pula dapat langsung dinikmati, didownload, dan dibeli oleh orang di Kairo atau Washington.

Akan tetapi, era baru tidak hanya menawarkan harapan semata, jika pembajakan atau pecuri lagu dengan penyakit musiknya masih terus membajak, sebenarnta tidak ada pihak yang diuntungkan, lah pembajak juga mendapatkan virus tanpa sepengetahuan. Bahkan, situs yang memuat konten musik digital tidak mendapatkan keuntungan dari aktivitasnya tersebut. Era digital mengakibatkan peredaran musik illegal lebih massif dan tidak terkendali, serta aktor yang tidak dikenali dan tidak terhitung jumlahnya. Kini, peluang besar industri musik pada era digital berubah bagi industri musik itu sendiri secara bisnis dan semuanya terkembalikan kepada industri musik bagaimana mensikapi dan mensiasatinya***

0 Responses

Posting Komentar

  • PENGUNJUNG